Pendidikan di Indonesia telah berlangsung selama bertahun-tahun sejak
negara ini merdeka. Bermula sejak berdirinya Perguruan Taman Siswa yang
didirikan Ki Hajar Dewantara dengan slogannya Tut Wuri Handayani.
Sekolah-sekolah negeri maupun swasta menjadi sarana dalam mewujudkan
tujuan program pendidikan nasional. Tetapi sayang, keberhasilan dalam
pertumbuhan dunia pendidikan di negara kita tidak diimbangi dengan
keberhasilan dalam pendidikan moral dan nilai-nilai pribadi yang luhur.
Berita-berita di media massa semakin hari semakin mengaburkan makna
pendidikan selama ini. Para pejabat korupsi, pelajar tawuran. Itu hanya
sebagian kecilnya saja, belum tayangan sinetron dan infotaiment yang
kurang mendidik.
Pendidikan, baik formal maupun informal, memiliki tujuan yang sama,
mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi apa yang salah selama ini? Sistem
kah atau kurikulum yang kerap bongkar-pasang? Guru atau tenaga pendidik
yang kurang kompeten? Di mana ruh pendidikan selama ini?
Pendidikan telah kehilangan ruh, pendidikan telah kehilangan peran
vital dalam melakukan transformasi sosial. Inilah yang coba dipaparkan
secara singkat dalam halaman pembuka buku. Pendidikan telah mendapatkan
stigma karena malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan pelaksana
pendidikan di lapangan. Betapa tidak, banyak kasus negatif yang
dilakukan institusi pendidikan.
Mulai dari pemotongan uang operasional dari Depdikbud hingga sampai
ke tangan sekolah. Dan hal yang paling terkini adalah melambungnya dana
rancangan kurikulum 2013, semula kemendikbud dan pemerintah setuju
dengan dana 684,4 miliar. Tapi dengan sangat tiba-tiba, Mendikbud
berucap kebutuhan dana untuk pembentukan kurikilum baru sebesar Rp 2,49
triliun. Hal ini mengindikasikan lagi-lagi akan terjadi penyelewengan
dana dari korps pendidikan.
Dengan adanya contoh seperti ini, terlihat institusi pendidikan yang
seharusnya memanusiakan manusia justru malah memberi contoh yang tidak
manusiawi. Bagian demi bagian dalam buku ini merupakan realitas yang
selama ini terjadi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Mulai dari
proses yang terjadi pada peserta didik di sekolah, praktek mengajar
guru, sampai pada arah pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah.
Gugatan demi gugatan merupakan sajian utama buku ini. Beberapa kritik
tajam juga menyeruak seolah mencerminkan sebuah euforia pasca
reformasi. Dewasa ini banyak yang menuntut pemerintah benar-benar
merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN. Lantas, jika pemenuhan
itu direalisasikan mau apa? Mengingat kondisi geogarfis Indonesia yang
berbeda-beda kebutuhannya dipikir ini sangat tidak cocok.
Semisal, pengadaan alat proyektor di sekolah-sekolah tapi ada
beberapa daerah yang masih belum dialiri listrik. Ini benar-benar
terjadi di Indonesia terutama bagian timur Indonesia. Hal ini
benar-benar mubazir. Alangkah lebih tepat bila pemerintah melakukan dialog partisipatoris untuk memenuhi apa yang benar-benar dibutuhkan suatu daerah untuk memajukan pendidikan di daerahnya.
Sebagai seorang praktisi pendidikan dari Taman Siswa, Darmaningtyas
banyak menyoroti malpraktik yang dilakukan oleh penguasa negeri ini.
Praktek-praktek pada arah kebijakan pendidikan yang selama ini terjadi
di indonesia marak terjadi pasca bergulirnya era otonomi daerah. Dengan
adanya desentralisasi dalam bidang-bidang yang telah ditentukan
pemerintah, budaya korupsi pun tak ayal ikut terdesentralisasi pula ke
daerah-daerah yang dulunnya enggan dan takut melakukan tindakan-tindakan
penyelewengan. Dalam kolusi sekarang ini, tawar menawar jabatan guru
dilakukan secara terang-terangan antara calon guru dengan aparat
pemerintah daerah.
Entah ada koordinasi antar daerah atau tidak, yang pasti, ada semacam
keseragaman tarif untuk dapat diterima menjadi seorang guru negeri.
Untuk menjadi guru SD misalnya, tarifnya antara Rp. 10.000.000-Rp.
20.000.000 sedangkan untuk guru SLTP, karena dasar pendidikannya
sama-sama S1, tarifnya antara Rp. 20.000.000.-Rp.40.000.000. (halaman
84).Pendidikan, kata Darmaningtyas, bukanlah sekedar anggaran. Alih-alih
menganggarkan dana untuk pendidikan dengan alokasi yang sesuai dengan
kebutuhan. Pemerintah lebih disibukkan dengan permasalahan persiapan
“baku hantam” dengan rival politiknya. Padahal dalam pasal 31 UUD 1945
pemerintah menjamin seluruh kegiatan pendidikan untuk rakyat Indonesia.
Dengan melihat realitas yang terjadi di Indonesia, kita bisa
mengatakan bahwa pemerintah mengkhianati konstitusi dengan tidak
menjalankan amanat UUD 1945. Sesuai dengan judulnya, konten buku ini
memang lebih banyak mengungkapkan penyelewengan-penyelewengan yang
terjadi dalam pendidikan Indonesia. Banyak fakta-fakta yang diungkapkan
secara jelas dan lugas. Buku ini bukanlah pemikiran utuh dari si penulis
berkenaan dengan pendidikan, namun kumpulan artikel yang pernah ditulis
di pelbagai media massa. Tulisan ini cukup bagus untuk dijadikan
refleksi bagi semua orang yang berkecimpung dan menggeluti pendidikan
terutama kampus bekas IKIP seperti UNJ ini. Buku ini juga memaparkan
sangat dominannya akan kegiatan agama mayoritas Indonesia (baca islam)
di sekolah, hingga memunculkan tindakan diskriminatif dikehidupan
sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Sudah barang tentu
akan membahayakan keragaman beragama yang ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar